Rabu, 26 Januari 2011

MATARAM KUNO


Mataram Kuno atau Mataram (Hindu) adalah sebutan untuk dua dinasti yang pernah berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua dinasti ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
http://wapedia.mobi/thumb/3ad1500/ms/fixed/451/256/Locator_mataram_kuno.png?format=jpg

Peta lokasi pusat kerajaan Mataram Kuno.
1. Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kemboja). Dinasti ini bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Dinasti Syailendra cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahuan. Peninggalan terbesar Dinasti Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
http://wapedia.mobi/thumb/3ad1500/ms/fixed/470/201/Borobudur-complete.jpg?format=jpg

Candi Borobudur, salah satu peninggalan Dinasti Syailendra.
2. Dinasti Sanjaya
Tidak banyak yang diketahui sejarah Dinasti Sanjaya sejak sepeninggal Raja Sanna. Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Dinasti Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), seorang puteri raja Dinasti Syailendara yang bernama Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Dinasti Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.

KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Kerjasama tentara Mongol dan pasukan Arya Wiraraja dapat 
mengalahkan pasukan Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang. Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri
Patung Airlangga dalam perwujudan Dewa Wisnu, salah satu 
peninggalan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri. Runtuhnya Kediri
Arca ini menggambarkan seorang laki-laki pada masa Kerajaan 
Kediri. Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

KERAJAAN SINGASARI

Kerajaan Singasari (1222-1293) adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara vang didirikan oleh Ken Arok pada 1222. Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292) yang bergelar Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa.

Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum Brahmana, semua pendeta melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Adapun nama kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan kemarahan raja Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan besar untuk menyerang Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran dan sejak itu wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.
Kertanegara
Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari hanya lima tahun. Pada 1227 ia dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil perkawinan Tunggul Ametung dan Ken Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya, Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang).
Kematian Anusapati menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni langsung menyerang Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248 Ranggawuni menjadi raja Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah Kerajaan Singasari selama 20 tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa Cempaka (Narasingamurti). Ranggawuni wafat pada 1268 dan digantikan oleh putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun (1268-1292). Ekspedisi Pamalayu
Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari. Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu. Kertanegara berhasil memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku).
Serangan Pasukan Mongol
Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang. Permintaan ini menimbulkan kemarahan Kertanegara dengan melukai utusan khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari tindakannya ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan Mongol menyerang Kerajaan Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang, setahun sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang.

KERAJAAN MAJAPAHIT

Kerajaan Majapahit adalah nama sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) yang didampingi oleh Patih Gadjah Mada (1331-1364), Kerajaan Majapahit mengalami masa keemasannya.
Candi Panataran merupakan candi terbesar dan paling penting bagi 
umat Hindu di Jawa Timur yang dibangun pada masa kejayaan Kerajaan 
Majapahit. Setelah Raja Kertanegara gugur dalam peristiwa penyerangan Raja Jayakatwang (Raja Kediri), berakhirlah riwayat Kerajaan Singasari. Raja Kertanegara beserta petinggi kerajaan lainnya tewas dalam penyerangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara) segera melarikan diri ke Sumenep, Madura, dan mendapat perlindungan dari Arya Wiraraja, penguasa Sumenep. Raja Jayakatwang sangat menghormati Arya Wiraraja sehingga Raden Wijaya diampuni. Setelah mendapat pengampunan dari Raja Jayakatwang, Raden Wijaya beserta pengikutnya diizinkan untuk membabat hutan Tarik (sekarang menjadi Desa Trowulan, Jawa Timur) untuk dijadikan desa. Disinilah kemudian berdiri pusat Kerajaan Majapahit. Kertarajasa Jayawardhana
Candi Tikus, tempat pemandian kerabat raja Majapahit. Pada 1293 pasukan Kubilai Khan dari Cina datang dengan tujuan untuk menghancurkan Kerajaan Singasari. Mereka tidak mengetahui bahwa Singasari telah hancur. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijava untuk membalas dendam kepada Raja Jayakatwang.

Para Penguasa Majapahit

Raden Wijaya : (1309)
Jayanegara : (1309-1328)
Tribhuwanatunggaldewi : (1328-1350)
Hayam Wuruk : (1350-1389)
Wikramawardhana : (1389-1429)
Suhita : (1429-1447)
Kertawijaya : (1447-1451)
Rajasawardhana : (1451-1453)
Bhre Wengker : (1456-1466)
Singhawikramawardhana : (1466-1468)
Kertabhumi : (1468-1478)
Ranawijaya/Girindrawardhana : (1478-?)

Pasukan Raden Wijaya bekerjasama dengan Kubilai Khan yang berjumlah sekitar 20.000 orang. Dalam waktu singkat, Kerajaan Kediri hancur dan Raja Jayakatwang terbunuh. Pasukan Kubilai Khan kembali ke pelabuhan, namun di tengah perjalanan pasukan Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Singasari dari Sumatera menyerang pasukan tersebut. Pasukan Kubilai Khan segera pergi dari tanah Jawa dan Raden Wijaya menjadi raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Jawa (kecuali tanah Sunda), sebagian besar P. Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya. Perluasan wilayah ini dicapai berkat politik ekspansi yang dilakukan oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada. Pada masa inilah Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Keruntuhan Majapahit
Sepeninggal Raden Wijaya, Kerajaan Majapahit dilanda beberapa pemberontakan. Pemberontakan tersebut antara lain ialah pemberontakan Ranggalawe, Sora, dan Kuti selama masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328), serta pemberontakan Sadeng dan Keta pada masa Tribhuwanatunggadewi (1328-1350). Pemberontakan baru dapat berakhir pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Setelah masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk, pamor Kerajaan Majapahit semakin menurun. Pada 1522, Kerajaan Majapahit hancur akibat terjadinya perang saudara. Selain itu, faktor yang juga mempengaruhi runtuhnya Kerajaan Majapahit ialah munculnya Kerajaan Malaka dan berkembangnya kebudayaan Islam.


Kamis, 13 Januari 2011

Tragedi G30S/PKI [Versi Ratnasari Dewi Soekarno]

RATNASARI Dewi Soekarno memperlihatkan dokumen yang dikirim ke Amerika Serikat dalam jumpa persnya di Jakarta, kemarin. Dokumen tersebut menyebutkan tentang adanya percobaan kudeta terhadap Presiden pertama RI Soekarno.* (DUDI SUGANDI/”PR”)
MISTERI Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) kini mulai terungkap. Ini setidaknya menurut versi Ratna Sari Dewi, istri almarhum Presiden Soekarno, yang menyingkapkannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/10). Dengan tutur bahasa Indonesia yang kurang lancar, Dewi memaparkan secara runtut kejadian sekitar tragedi berdarah yang membenamkan bangsa Indonesia dalam kepedihan berkepanjangan itu. “G30S/PKI bukanlah suatu kup atau kudeta. Kudeta terjadi justru tanggal 11 Maret dengan Surat Perintah 11 Maret yang menghebohkan itu,” kata Dewi dalam konferensi pers di kediamannya yang asri di Jl. Widya Chandra IX No. 10. Jumpa pers ini dihadiri ratusan wartawan dari dalam dan luar negeri. Maka meluncurlah cerita dari bibir mungil wanita yang masih cantik di usianya yang mendekati kepala enam ini. Dengan sangat ekspresif, ia bahkan memperagakan saat-saat akhir Bung Karno (BK) ketika dibawa dari Wisma Yaso ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). “Sebelum 30 September, Bapak (Bung Karno-BK, red) memanggil Jenderal A. Yani untuk menanyakan tentang adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta dan membunuhnya,” kata Dewi mengutip ucapan suaminya. Saat itu, Pak Yani menyatakan bahwa dirinya sudah tahu tentang hal itu, dan nama-nama para jenderal itu sudah ada di tangannya. “Jadi Bapak tidak usah khawatir,” kata A. Yani. Saat itu, sebetulnya tidak ada yang memberitahu anggota pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, tentang rencana makar terhadap panglima revolusi ini. Entah mengapa, pentolan Tjakra seperti Letkol Untung, Kolonel Latief dan Supardjo mengetahuinya. “Mungkin ada yang memberi tahu mereka,” ucap Dewi mengutarakan prediksinya. Sebagai perwira muda yang sangat loyal kepada BK, didorong kekhawatiran akan keselamatan BK, pasukan Tjakra ini bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Sebab kalau lapor kepada atasannya, diperlukan bukti-bukti padahal mereka hanya punya waktu sekitar empat hari lagi, karena kudeta akan dilakukan tanggal 5 Oktober 1965 saat ulang tahun ABRI. “Lebih baik kami interogasi saja jenderal-jenderal itu,” kata Dewi tentang niat para perwira muda di kesatuan Tjakra ini. Hal ini sebenarnya tidak direncanakan dengan baik, karena para perwira muda ini didorong oleh suasana emosi dan darah mudanya yang memang panas. Guna menghindari kemungkinan yang lebih buruk, Kol. Latief menemui Pak Harto di RSPAD dan membicarakan tentang rencana dewan jenderal. Juga diungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan BK dan anggotanya serta rencana menginterogasi anggota dewan jenderal. “Kalau ada apa-apa, Pak Harto bisa mem-back up,” kata Dewi. Namun permintaan itu ditanggapi dingin oleh Pak Harto yang saat itu menjabat Pangkostrad. Sebetulnya, kalau mau Pak Harto bisa mencegah kejadian ini. Namun karena tidak hirau, Pak Harto membiarkan pasukan Tjakra bertindak. “Tjakra bermaksud menyelamatkan BK. Masudnya baik tapi caranya kasar. Saya bisa mengerti karena darah mudanya,” tutur Dewi. Untuk menginterogasi para jenderal itu, Letkol Untung tak mungkin menyuruh prajurit muda dengan pangkat rendah. Mereka ini hanya bertugas menjemput para jenderal untuk diinterogasi. “Para prajurit ini tak mungkin berani memanggil Pak Yani yang jenderal untuk menghadap. Karena itu, mereka meminta para jenderal untuk menghadap BK dan tidak ada sama sekali rencana untuk membunuh mereka,” jelas Dewi yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia lewat buku yang menampilkan seluruh tubuhnya, Madame D’syuga. Namun karena mereka masih muda, kerap kali keluar kata kasar yang tidak layak ditujukan kepada jenderal sehingga mereka marah. Contohnya Jenderal Yani yang menampar seorang prajurit dan akhirnya ditembak di tempat, sebagaimana terungkap dalam film G30S/PKI arahan Arifin C. Noer. “Jadi gerakan itu bukanlah orang PKI melainkan orang-orang militer. Ini merupakan insiden yang sangat bodoh, idiot, cruel dan harus dicela,” kata mantan geisha di Jepang ini. Menurut Dewi, usai gerakan ini Soeharto langsung menyatakan bahwa pelakunya adalah PKI. Itu diutarakan lewat RRI sehingga membentuk opini masyarakat tentang jahatnya PKI. Saat HUT TNI, Soeharto telah berhasil menguasai TNI. “Mengapa rencana kudeta itu tanggal 5 Oktober? Karena saat itu semua maklum bila tentara keluar barak menuju istana untuk memperlihatkan keterampilannya di hadapan presiden. Saat itu ada show of tank. Ini persis dilakuan CIA ketika menjatuhkan Presiden Mesir Anwar Sadat yang meninggal saat defile angkatan perangnya,” kata Dewi yang saat konferensi pers mengenakan batik tulis ‘lusuh’ warna cokelat muda ini.
**
TENTANG jatuhnya BK, Dewi sangat yakin bahwa BK Jatuh atas keterlibatan CIA. Untuk memperkuat pernyataannya itu, Dewi memperlihatkan 10 fotokopi dari tiga surat penting yang disebutnya sebagai bukti otentik keterlibatan CIA dan AS.
Bukti pertama adalah dokumen tentang pertemuan salah seorang jenderal dengan dubes AS waktu itu untuk membicarakan kudeta tanggal 5 Oktober 1965.
Dokumen kedua adalah dokumen Gillchrist, orang kedua di Kedubes AS yang menyebutkan tentang rencana Marshal Green menjadi Dubes AS di Indonesia. Orang terakhir ini adalah pakar kudeta CIA yang terlibat dalam kudeta di Korea dan Hongkong. Saat itu sebetulnya BK sudah diingatkan tentang kemungkinan adanya rencana CIA di Indonesia sehubungan dengan kedatangan Green ini. “Tapi kalau saya tolak, berarti saya takut pada AS,” kata BK, seperti dikutip Dewi, tentang alasannya menerima Green.
Dokumen terakhir adalah surat dari BK untuk Dewi yang menyatakan penderitaannya karena tidak boleh dijenguk anak dan istrinya. Juga tentang kondisi terakhir BK.
“Saat saya datang, kondisi Bapak sangat mengenaskan. Keesokan harinya Bapak meninggal. Ketika saya konfirmasikan kepada dokter di AS dan Prancis, ternyata terungkap bahwa ada indikasi Bapak dibunuh dengan cara diberi obat over dosis,” katanya

Rabu, 12 Januari 2011

Nama - nama Presiden Republik Indonesia

1. Soekarno

a. Mulai menjabat 18 Agustus 1945 sampai 19 Desember 1948 dari PNI
Wakil Presiden Mohammad Hatta
(Menjabat pada periode 1)




1.a. Syafruddin Prawiranegara (Ketua PDRI)

Mulai menjabat 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 dari nonpartisan
(Menjabat pada periose 1)
PDRI dibentuk setelah ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat agresi militer. Pembentukan PDRI sendiri sebenarnya memang diamanatkan dalam telegram yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada Syafruddin, walaupun telegram itu tidak pernah sampai ke tangannya.

b. Soekarno
Mulai menjabat 13 Juli 1949 sampai 27 Desember 1949 dari PNI
Wakil Presiden Mohammad Hatta
(Menjabat pada periode 1)

c. Soekarno (Presiden RIS)
Mulai menjabat 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 dari PNI

1.c. Assaat (pemangku sementara jabatan Presiden RI)
Mulai menjabat 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 dari non partisan

Berdasarkan hasil konferensi meja bundar, Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat(RIS) di mana Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagiannya. Karena Soekarno dan Hatta diangkat menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka Assaat diangkat sebagai "Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia". Jabatan ini berakhir ketika RIS kembali ke bentuk negara kesatuan (Republik Indonesia).
(Menjabat pada periode 1)

d. Soekarno
Mulai menjabat 15 Agustus 1950 sampai 1 Desember 1956 dari PNI
Wakil Presiden Mohammad Hatta
(Menjabat pada periode 1)

e. Soekarno
Mulai menjabat 1 Desember 1956 sampai 22 Februari 1967
(Menjabat pada periode 1)


2. Soeharto

a. Mulai menjabat 22 Februari 1967 sampai 27 Maret 1968 (Pejabat Presiden)
Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang "Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno" dikeluarkan pada tanggal 27 Maret 1967 , tetapi berlaku surut sejak 22 Februari 1967.

b. Mulai menjabat 27 Maret 1968 sampai 24 Maret 1973
(Menjabat pada periode 2 )

c. Mulai menjabat 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978
Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX
(Menjabat pada periode 3)

d. Mulai Menjabat 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983
Wakil Presiden Adam Malik
(Menjabat pada periode 4)

e. Mulai Menjabat 11 Maret 1983 sampai 11 Maret 1988
Wakil Presiden Umar Wirahidikusumah
(Menjabat pada periode 5)

f. Mulai menjabat 11 Maret 1988 sampai 11 Maret 1993
Wakil Presiden Soedharmono
(Menjabat pada periode 6)

g. Mulai menjabat 11 Maret 1993 sampai 10 Maret 1998
Wakil Presiden Try Sutrisno
(Menjabat pada periode 7)

h. Mulai menjabat 10 Maret 1998 sampai 21 Mei 1998
Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie
(Menjabat periode 8)
Dari Partai Golkar

3. Baharuddin Jusuf Habibie

Mulai menjabat 21 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999 dari Golkar
Wakil Presiden kosong
(Menjabat pada periode 8)



4. Abdurrahman Wahid

Mulai menjabat 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001 Dari PKB
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
(Menjabat pada periode 9)



5. Megawati Soekarnoputri

Mulai menjabat 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004 dari PDI Perjuangan
Wakil Presiden Hamzah Haz
(Menjabat pada periode 9)




6. Susilo Bambang Yudhoyono

a. Mulai menjabat 20 Oktober 2004 sampai 29 Oktober 2009 dari Partai Demokrat
Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla
(Menjabat pada periode 10)


b. Mulai menjabat 29 Oktober 2009 asmpai sekarang untuk masa bakti kedua sekaligus terakhir
wakil Presiden Budiono
(Menjabat pada Periode ke 11 )

SEJARAH GARUDA

Pada dunia ilmiah fauna nama Burung Garuda tidaklah dikenal, namun demikian Burung Garuda yang menjadi lambang negara Republik Indonesia memiliki kemiripan dengan Burung Rajawali ataupun Elang Besar (Haliaetus leucocephalus) yang juga serupa dengan lambang negara Amerika Serikat ataupun Thailand. Burung Garuda sendiri (Garuda berasal dari bahasa sansekerta), muncul dari mitologi Hindu dan Budha, di Suku Tamil Garuda disebut sebagai Karutan dan di Jepang disebut sebagai Karura.

Di dalam mitologi Hindu, Garuda digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah burung yang menjadi kendaraan Dewa Wisnu dan merupakan raja dari para burung. Pada kisah Baghawad Gita juga disebut nama Burung Garuda oleh Khrisna di tengah perang Barata Yudha di Kurusetra, "Of birds, I am the son of Vinata (Garuda)". Sedangkan di dalam mitologi Budha, Burung Garuda digambarkan sebagai predator yang hebat dan pintar serta memiliki kemampuan berorganisasi secara sosial.

Kemudian di masa pujangga Dharmawansa Anantawikrama nama Garuda tersebar di Jawa Timur sekitar tahun 991-1016. Meskipun tidak melihat sendiri wujud burung itu, mereka berhasil membayangkan dan mengabadikannya dalam pahatan relief Candi Kedaton dan Kidal. Kemudian, Garuda yang setengah orang setengah burung diabadikan lebih nyata sebagai arca Airlangga di Candi Belahan. Baru setelah beratus-ratus tahun kemudian Burung Garuda dijadikan lambang Negara Republik Indonesia.

Proses pemilihan Burung Garuda sebagai lambang Negara dimulai pada tanggal 13 Juli 1945, dalam rapat Panitia Perancangan Undang-undang Dasar, Parada Harahap mengusulkan tentang lambang negara. Kemudian pada tanggal 20 Desember 1949, berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949, Sultan Hamid Al Kadrie II diangkat sebagai Menteri Negara RIS yang dipercaya untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.

Sultan Hamid Al Kadrie II adalah Sultan yang berasal dari Kesultanan Kadriah Pontianak, Kalimantan Barat. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1771 oleh penjelajah Arab yang dipimpin oleh Syarif Abdurahman Al Kadrie yang kemudian melakukan pernikahan politik dengan putri dari Kesultanan Banjarmasin, Ratu Syarif Abdul Rahman, putri Sultan Tamjidullah. Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian Syarif Abdurahman Al Kadrie mendirikan Istana Kadriah.

Ia merupakan salah satu dari sekian belas orang Indonesia yang mendapat pendidikan elit militer Belanda di KMA Breda dengan pangkat terakhir "Adjudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden", yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai Asisten Ratu Belanda dan orang Indonesia yang pertama kali memperoleh pangkat tersebut. Di masa RIS, Sultan Hamid II sebenarnya lebih menginginkan jabatan Menteri Pertahanan dibandingkan Menteri Negara Zonder Porto Folio, karena lebih sesuai dengan bidang keahliannya tetapi jabatan Menteri Pertahanan kemudian diberikan kepada Sultan Hamengkubuwono IX.

Tanggal 10 Januari 1950, selaku Menteri yang ditunjuk untuk proses pembuatan lambang negara, Sultan Hamid II membentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dengan susunannya sebagai berikut : Muhammad Yamin (ketua), Ki Hadjar Dewantoro, M.A.Pellaupessy, Mohammad Natsir dan RM. Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Terdapat dua usulan lambang negara yang memasuki putaran final yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin, namun yang diterima oleh Bung Karno adalah karya Sultan Hamid II. Banteng Matahari karya Muhammad Yamin ditolak karena memiliki gambar matahari yang disinyalir berbau Jepang.

Rancangan final lambang negara Burung Garuda hasil karya Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 8 Februari 1950 setelah ada berbagai masukan dan diskusi. Masyumi sendiri mengusulkan agar menghilangkan gambar tangan dan bahu manusia dari lambang negara. Sementara itu hasil diskusi intensif antara Bung Karno, Bung Hatta dan Sultan Hamid II menghasilkan pita merah putih yang bertuliskan "Bhineka Tunggal Ika".

Penggunaan resmi lambang negara Garuda Pancasila terjadi pada tanggal 11 Februari 1950 dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Mohammad Hatta. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indies (sekarang Duta Merlin) Jakarta.

Di tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai denga bentuk akhir rancangan Sultan Hamid II yang dipergunakan resmi sampai saat ini.

Lambang negara ini kemuudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.66 tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara No.111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara No.176 tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak itu, secara yuridis gambar lammbang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena keterlibatannya dalam APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), Sultan Hamid II kemudian dipenjara selama 16 tahun dan namanya "disamarkan" sebagai pembuat lambang Negara Burung Garuda. Adalah Turiman yang menegaskan kembali bahwa pembuat lambang negara Burung Garuda yaitu Sultan Hamid II melalui tesis Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia yang berjudul "Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)" dengan pembimbing Prof. Dimyati Hartono pada tahun 1999.

Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai Pasal 3 Ayat 3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo PP No.60/1951 ditentukan bahwa bentuk dan warna serta skala ukuran lambang negara RI adalah sebagaimana yang terlampir secara resmi dalam PP No.66 tahun 1951 juga pada Lembaran Negara No.111, dan bentuk lambang negara yang dimaksud adalah lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid Al Kadrie II yaitu Burung Garuda. "Sudah jelas bahwa lambang negara Burung Garuda adalah buah karya Sultan Hamid Al Kadrie II", tegas Turiman yang juga Dosen Pasca Sarjana Universitas Tanjungpura Pontianak.

Sultan Hamid II sendiri meninggal di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1978, meninggalkan dua orang anak dan seorang istri berkebangsaan Belanda. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Al Kadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara, yang disetujui oleh Presiden Soekarno, kepada Haji Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu) pada tanggal 18 Juli 1974 yang bertempat di kawasan Kwitang Jakarta Pusat. Sedangkan tampuk kekuasaan Istana Kadriah sendiri saat ini dipegang oleh penerusnya, Sultan Syarif Abubakar Al Kadrie.